Saturday, February 9, 2013

Analisis Fungsi Legislasi Badan Permusyawaratan Desa Cumpiga Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone (97)

Demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia termasuk di Indonesia. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip Trias Politica yang membagi tiga kekuasaan politik dalam sebuah negara yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan lembaga negara yang independen dan berada dalam tingkatan yang sejajar antara satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip Checks and Balances.
Lembaga legislatif merupakan salah satu bagian dari prinsip Trias Politica. Lembaga ini memiliki kewenangan dalam menjalankan kekuasaan legislatif atau kewenangan dalam membuat dan menetapkan peraturan perundang-undangan. Legislatif dalam sistem presidensial adalah cabang pemerintahan yang sama dan bebas dari lembaga eksekutif. Dibeberapa negara lembaga legislatif dikenal dengan beberapa nama yaitu Parlemen ataupun Kongres sedangkan di Indonesia sendiri, untuk tingkat pusat dikenal dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Tidak hanya di tingkat pusat, provinsi ataupun kota/kabupaten bahkan lembaga legislasi pun hadir ditingkat pemerintahan terkecil yakni desa.
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No.32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 12). Hal ini menunjukkan bahwa selain menganut demokrasi, di desa juga memiliki otonominya sendiri yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Indonesia. Otonomi desa bukanlah menunjuk pada otonomi pemerintah desa semata-mata, tetapi juga otonomi masyarakat desa dalam menentukan diri mereka dan mengelola apa yang mereka miliki untuk kesejahteraan mereka sendiri.  Otonomi desa berarti juga memberi ruang yang luas bagi inisiatif dari desa. Kebebasan untuk menentukan dirinya  sendiri dan keterlibatan masyarakat dalam semua proses baik dalam pengambilan keputusan berskala desa, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan maupun kegiatan-kegiatan lain yang dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat desa sendiri.  

Demi mewujudkan demokrasi dan otonomi  di tingkat desa maka dibentuklah lembaga yang serupa dengan lembaga legislatif yang disebut dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan di desa. Hal ini termuat dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 pasal 1 ayat 8 yang disebutkan bahwa BPD adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. BPD sebagai badan permusyawaratan berasal dari ketua rukun warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Badan permusyawaratan desa bukanlah lembaga legislasi yang pertama ditingkat desa karena ada lembaga legislasi desa lainnya sebelum BPD yang merupakan cikal bakal perwujudan demokrasi dan otonomi di desa yakni Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Badan Perwakilan Desa. Lembaga ini pada hakikatnya adalah mitra kerja pemerintah desa yang memiliki kedudukan sejajar dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.  
Badan Permusyawaratan Desa memiliki fungsi utama yakni merumuskan dan menetapkan Peraturan Desa bersama-sama dengan pemerintah desa (legislasi) serta menampung  dan menyalurkan aspirasi dari masyarakat kepada pemerintah desa (refresentasi). Selain fungsi dalam legislasi dan refresentasi, BPD juga memiliki fungsi lainnya seperti mengayomi yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan  berkembang di desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan dan melakukan pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa/APBDesa serta keputusan kepala desa (Perda Kab.Bone No.3 tahun 2007).
Fungsi legislasi adalah salah satu tugas utama BPD dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di desa. Berbicara tentang legislasi tentunya kita mengarah pada adanya output yang dihasilkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dilevel desa peraturan perundang-undangan disebut dengan peraturan desa (Perdes). BPD melakukan koordinasi dengan pemerintah desa yakni kepala desa beserta jajarannya dalam merumuskan dan menetapkan peraturan desa. Badan permusyawaratan desa memiliki hak untuk menyetujui atau tidak terhadap peraturan desa yang dibuat oleh pemerintah desa dalam hal ini kepala desa dan perangkat desa lainnya. Lembaga ini juga dapat membuat rancangan peraturan desa untuk secara bersama-sama pemerintah desa untuk ditetapkan menjadi peraturan desa.
Proses legislasi peraturan desa umumnya melalui 3 tahapan yaitu tahap inisiasi, tahap sosio-politis dan tahap yuridis. Tahap-tahap ini mencakup pengusulan, perumusan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Rancangan peraturan desa, dapat diajukan oleh pemerintah desa dan dapat juga oleh BPD. Dalam menyusun rancangan peraturan desa, pemerintah desa dan atau BPD harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi yang berkembang di masyarakat. Rancangan peraturan desa yang berasal dari pemerintah desa disampaikan oleh kepala desa kepada BPD secara tertulis. Setelah menerima rancangan peraturan desa, BPD melaksanakan rapat paripurna untuk mendengarkan penjelasan kepala desa. Jika rancangan peraturan desa berasal dari BPD, maka BPD mengundang pemerintah desa untuk melakukan pembahasan. Setelah dilakukan pembahasan, maka BPD menyelenggarakan rapat paripurna yang dihadiri oleh anggota BPD dan pemerintah desa dalam acara penetapan persetujuan BPD atas rancangan peraturan desa menjadi peraturan desa yang dituangkan dalam keputusan BPD. Setelah mendapatkan persetujuan BPD, maka kepala desa menetapkan peraturan desa, serta memerintahkan sekretaris desa atau kepala urusan yang ditunjuk untuk mengundangkannya dalam lembaran desa.
Tahap-tahap penyusunan dan penetapan peraturan desa yang ada harus dijalankan di seluruh desa di Indonesia dengan memperhatikan tiap tahapan, tidak terkecuali dalam pembuatan Peraturan Desa Cumpiga No. 1 tahun 2011 tentang rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDesa) tahun 2011-2015. BPD merupakan salah satu Unsur penyelenggara pemerintahan desa yang paling berperan dalam Pembuatan Perdes, namun BPD Cumpiga Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone justru cenderung bertindak pasif dalam menjalankan tiap tahap dari pembuatan peraturan desa. Hak yang diberikan untuk mengusulkan rancangan peraturan desa tidak dipergunakan sebaik-baiknya dan ketika usulan datang dari pemerintah desa, BPD setempat bersikap kurang kritis sehingga kemungkinan besar output yang dihasilkan tidak banyak memberi perubahan yang positif di Desa Cumpiga Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone. BPD setempat Seharusnya lebih menunjukkan kapabilitas dan akuntabilitasnya sebagai lembaga legislasi di desa khususnya dalam pembuatan peraturan desa, oleh karena itu penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul Analisis Fungsi Legislasi Badan Permusyawaratan Desa Cumpiga  Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone.”

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini

Thursday, February 7, 2013

Analisis Pengaruh Ldr, Npl Dan Car Terhadap Risiko Likuiditas Pada Bank Pembangunan Daerah (Bpd) Se-Indonesia Tahun 2007-2011 (95)

Pelaksanaan program pembangunan Indonesia diadakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, tujuan tersebut diwujudkan melalui peningkatan pendapatan dengan berbagai kegiatan yang produktif untuk menciptakan perekonomian yang stabil. Stabilitas perekonomian Indonesia membutuhkan ketersediaan dan peran serta lembaga keuangan. Pada saat ini terdapat dua jenis lembaga keuangan, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank. Salah satu sarana yang mempunyai peranan strategis dalam kegiatan perekonomian adalah lembaga keuangan bank. Peran strategis tersebut terutama disebabkan oleh fungsi utama perbankan sebagai financial intermediary,  yaitu sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien.
Diketahui bahwa industri perbankan di Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataaan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan rakyat banyak (Hasibuan, 2007: 4).
Menurut Bank Indonesia, pada tahun 2010 jumlah aset berdasarkan sektor keuangan di Indonesia masih didominasi oleh industri perbankan. Diketahui bahwa bank umum komersial masih tetap unggul dengan pangsa sekitar 79,5% dari total aset sektor keuangan. Sementara, pangsa industri keuangan lainnya seperti Bank Perkreditan Rakyat (1,1%), perusahaan asuransi (8,8%), dana pensiun (3,1%), perusahaan pembiayaan (4,4%) perusahaan sekuritas (2,7%) dan pegadaian (0,4%) relatif rendah.
Prestasi sektor perbankan terus menunjukkan kinerja yang cemerlang di tahun 2011. Realisasi kinerja perbankan telah membuktikan bahwa fundamental ekonomi dan perbankan nasional tetap kuat ditengah gejolak krisis global yang melanda. Kekuatan itu juga tercermin pada stabilitas sistem perbankan nasional yang tetap terjaga dengan baik, hal itu terbukti pada kuartal ketiga tahun 2011 laba bersih yang tercatat di bank terkemuka Indonesia sudah tumbuh rata-rata 35%.

Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Visi API (Arsitektur Perbankan Indonesia), yaitu menciptakan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menjaga kestabilan sistem keuangan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional (Triandaru dan Budisantoso, 2008: 26).
Fungsi bank sangat krusial bagi perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, keberadaan aset bank dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi. Kepercayaan masyarakat juga diperlukan karena bank tidak memiliki uang tunai yang cukup atau alat likuid untuk membayar kewajiban kepada seluruh nasabahnya dalam waktu bersamaan.
Usaha perbankan haruslah dijaga keberlangsungannya. Tingkat likuiditas yang baik merupakan salah satu indikator agar usaha perbankan dapat berjalan.Pengelolaan likuiditas merupakan masalah yang cukup kompleks dalam kegiatan operasional bank. Bank yang sehat adalah bank yang mampu menjaga keberlangsungan usahanya serta dapat memenuhi kewajibannya kepada pihak yang berkepentingan. Sulitnya pengelolaan likuiditas tersebut disebabkan dana yang dikelola bank sebagian besar adalah dana masyarakat yang sifatnya jangka pendek dan dapat ditarik sewaktu-waktu.
Keadaan likuiditas bank yang baik ialah ketika suatu bank memiliki jumlah aset likuid yang dapat menutupi kewajiban jangka pendek dan penarikan dana oleh deposan. Sebagai lembaga perbankan, di satu sisi bank harus menjaga penarikan dana dari sumberdana yang dititipkannya seperti giro, deposito, tabungan, dan lainnya. Sementara di sisi lain bank harus menjaga penarikan permintaan dana seperti kredit yang diberikan,pembelian peralatan dan lainnya (Rusyamsi, 1999: 37).
Di Indonesia ada beberapa jenis bank, namun jika ditinjau dari segi  kepemilikannya, maka jenis bank yang tergolong di dalamnya ialah Bank BUMN, Bank Pemerintah Daerah (BPD), Bank Milik Swasta Nasional, Bank milik Swasta Campuran, dan Bank Milik Asing (Dendawijaya, 2009:15).
Bank milik Pemerintah Daerah atau yang umum dikenal dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) merupakan jenis bank yang tergolong berperan aktif dalam menunjang kegiatan pembangunan nasional dan regional di Indonesia. Hal tersebut dapat diukur dari kinerja BPD selama tahun 2011 yang mengalami perbaikan. Sejauh ini bila dilihat dari segi keuntungan sudah cukup signifikan pertumbuhannya. Namun, dari segi peran pembiayaan di daerah masing-masing memang masih bervariatif, hal ini dikarenakan ada BPD yang masih besar porsinya memberikan kredit konsumsi yang tentunya tingkat pengembaliannya berdampak pada likuiditas BPD itu sendiri. Selain itu, kendala lain yang menghambat pertumbuhan BPD adalah minimnya modal yang dimiliki BPD saat ini. Namun kendala ini diharapkan menjadi pendorong BPD untuk terus meningkatkan kinerja perbankan sehingga BPD dapat bersaing dengan bank-bank umum lainnya.
Menurut laporan tahunan BPD Jateng, diketahui bahwa kepemilikan aset oleh BPD seluruh Indonesia hingga bulan November 2011 mencapai Rp100.210 miliar atau 8% dari total keseluruhan aset kelompok bank yang terdiri dari Persero (40%), BUSN Devisa (35%), BUSN Non Devisa (9%), BPD (8%), Campuran (5%) dan Asing (3%). Dengan perolehan tersebut, BPD menduduki peringkat ke empat dalam hal perolehan aset.
Jika ditinjau dari laporan keuangan masing-masing bank, pada tahun 2011 terdapat 4 BPD sebagai penyumbang total aset terbesar, yaitu secara berurutan Bank BJB, Bank Jatim, Bank Jateng, dan Bank Kaltim. Namun, ternyata tingkat likuiditas yang dimiliki oleh ke-4 Bank tersebut beragam, ada yang tergolong aman sepertiBank Jatim(80,11%), ada yang tergolong tidak aman seperti Bank BJB (72,95%), Bank Jateng (70.17%), dan Bank Kaltim (59.95%).Di sisi lain, terdapat Bank Sulselbar dengan total aset berada pada urutan ke-13 namun memiliki tingkat likuiditas yang aman yaitu 101.93% juga pada Bank NTB yang total asetnya berada pada peringkat ke-22,memiliki tingkat likuiditas 101.45%.
Data di atasmenunjukkan bahwa dengan memiliki total aset yang tinggi, bukan berarti suatu bank memiliki tingkat likuiditas yang aman pula, hal ini dipengaruhi oleh aset yang dimiliki oleh bank tidak semuanya tergolong lancar, ada yang tingkat pengembaliannya dalam jangka waktu yang lamadan berisiko tidak kembali, misalnya pemberian kredit.
Pada tahun 2011, Bank Kaltim yang memiliki aset terbesar ke-4 juga berada pada urutan ke-4 pada pemberian kredit diantara seluruh BPD. Bank ini memiliki tingkat kredit macet sebesar 2.9%, dibandingkan dengan Bank Sulsebar dengan urutan ke-13 pada pemberian kredit, hanya memiliki tingkat kredit macet  sebesar 1.8%.  Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian kredit yang tinggi, maka cenderung akan mempengaruhi tingkat kredit macet yang tinggi pula. Namun, tidak semua bank akan mencari keuntungan dengan mengalirkan sebagian besar asetnya ke pemberian kredit,karena pengembalian pokok dan bunga kredit oleh masyarakat tergolong lama dan berisiko tidak kembali yang tentunya akan mempengaruhi likuiditas bank tersebut.
 Hal ini ditunjukkan dengan tingkat aktiva tertimbang menurut risiko pada Bank Sulsebar pada tahun 2011, yaitu sebesar 23.62%, yang lebih tinggi dibandingkan dengan Bank Kaltim (18.45%). Berarti Bank Sulselbar lebih berhati-hati dalam pengelolaan aktivanyaagarlikuiditasnya tetap berada pada tingkat aman.
Pendapatan terbesar suatu bank berasal dari pendapatan bunga atas kredit yang diberikan ke masyarakat. Pendapatan lain juga berasal dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Semakin besarnya penyaluran dana dalam bentuk kredit dibandingkan dengan deposito (simpanan masyarakat) pada suatu bank, maka akan membawa konsekuensi semakin besarnya risiko likuiditas yang harus ditanggung oleh bank yang bersangkutan.
Dalam satu setengah dekade terakhir ini, para bankir baru menyadari bahwa sebuah bank berada pada bisnis berisiko. Mereka menyadari bahwa dalam menjalankan fungsi menawarkan jasa-jasa keuangan, bank harus mengambil atau menerima dan mengelola berbagai jenis risiko secara efektif agar dampak negatifnya tidak terjadi. Sebelum kesadaran akan perlunya suatu manajemen risiko ini muncul, hampir semua bank berpendapat bahwa risiko harus dihindari atau diminimalisir (Tampubolon, 2004: 4).
Bank Indonesia mendefinisikan risiko sebagai potensi terjadinya suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian bank. Menurut Bank Indonesia terdapat beberapa klasifikasi risiko yang kemungkinan dihadapi oleh industri perbankan, yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan.         
Risiko bank merupakan kombinasi dari tingkat kemungkinan sebuah peristiwa terjadi disertai konsekuensi (dampak) dari peristiwa tersebut pada bank. Dampak yang muncul ialah dampak yang menguntungkan atau mengancam sebuah kesuksesan.
Risiko tingkat bunga merupakan risiko yang dapat merugikan dan menguntungkan. risiko kredit dan risiko operasional juga dapat dikategorikan sebagai risiko dua arah.Sedangkan Risiko Likuiditas merupakan risiko dengan satu arah ke bawah atau disebut dengan risiko yang merugikan (Tampubolon, 2004: 21).Risiko yang terberat yang kerap menjadi awal dari terjadinya likuidasi ialah risiko likuiditas (Ali, 2004: 246).
Risiko likuiditas adalah eksposur yang timbul antara lain karena bank tidak mampu memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Krisis pembiayaan ini dapat timbul karena pertumbuhan bank atau ekspansi kredit di luar rencana, adanya peristiwa tak terduga seperti penghapusan (charge off) yang signifikan, hilangnya kepercayaan dari masyarakat sehingga menarik dana mereka dari bank, atau bencana nasional seperti devaluasi mata uang rupiah yang sangat besar (Tampubolon, 2004:26).Bank harus terus memantau posisi likuiditas dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Memiliki jumlah aset dan dana pihak ketiga yang cukup baik belum tentu tidak berpengaruh terhadap terjadinya risiko likuiditas pada suatu bank, karena bank dapat dinilai rentan terhadap risiko likuiditas yaitu dengan cara melihat apakah bank tersebut memiliki aset lancar yang melebihi kewajiban jangka pendeknya dan memenuhi penarikan dana oleh deposan. Berikut data tingkat risiko likuiditas yang ada pada beberapa BPD yang memiliki beragam aset lancar, dana pihak ketiga dan kewajiban jangka pendek pada tahun 2011.
Semakin tinggi angka risiko likuiditas maka semakin likuid bank tersebut Kasmir (2007: 268). Berdasarkan data di atas, secara berurutan bahwa Bank Kaltim, Bank Riaukepri, dan Bank Jateng memperlihatkan angka risiko likuiditas yang tinggi, hal ini menunjukkan bahwa ketiga bank tersebut memiliki keadaan likuiditas yang aman, karena masing-masing bank tersebut memiliki aset lancar yang tergolong tinggi yang dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang tergolong rendah. Jumlah aset lancar yang tersisa setelah membayar kewajiban jangka pendek tersebut berkisar 40% lebih dari jumlah dana pihak ketiga awal yang dihimpun oleh bank, hal itu menunjukkan bahwa dengan aset  lancar yang tersisa, bank masih mampu memenuhi penarikan dana sewaktu-waktu oleh deposan.
Disusul oleh Bank DKI dan Bank BJB yang memiliki sisa aset lancar secara berurut sebesar 36% dan 22%dari dana pihak ketiga awal yang dihimpunnya setelah membayar beberapa kewajiban jangka pendeknya yang tergolong tinggi. Dan terakhir ialah Bank Sulselbar, dapat dilihat bahwa aset lancar yang dimiliki Bank Sulselbar tergolong kecil dengan jumlah kewajiban jangka pendek yang lumayan besar untuk ditutupi, jadi sisa aset lancar yang dimiliki (19% dari dana pihak ketiga yang dihimpun) tergolong rendah untuk menutupi penarikan dana oleh deposan.
Pembahasan risiko likuiditas ini, dicakup dalam Pilar 2 Basel II Accord, dimana salah satu diantara jenis–jenis risiko yang diantisipasi dalam perhitungan CAR ialah risiko likuiditas. Penting diingat, bahwa dengan penambahan modal bukanlah satu-satunya pilihan untuk dapat mangantisipasi risiko. Hal utama yang harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas manajemen risiko, yaitu antara lain melalui penetapan limit internal, pemeliharaan alat likuid yang cukup, serta perbaikan internal kontrol sebagaimana rekomendasi Basel di atas (Ali, 2004: 65).
Bank sangat mungkin mengalami keadaan tidak likuid (illiquidity) yakni ketika arus kas keluarnya (penarikan deposito oleh nasabah, pemberian kredit, dan lainnya) jauh lebih besar daripada arus kas masuk (Siahaan, 2009: 134). Namun perlu diperhatikan tentang pemberian sebuah kredit, bank tentu harus tetap menjaga likuiditasnya, karena kredit yang diberikan ke masyarakat berisiko macet, untuk itu pengukuran NPL sangatlah penting untuk menilai tingkat likuiditas suatu bank.
Begitupun dengan LDR, yang menggambarkan perbandingan antara besarnya jumlah pinjaman yang diberikan dengan jumlah dana masyarakat yang dihimpun serta modal sendiri yang dimiliki oleh bank. Semakin tinggi LDR suatu bank, maka bank tersebut akan mengalami kesulitan likuiditas dan sekaligus penurunan profitabilitas (Ali, 2004: 344). Menjaga tingkat likuiditas bagi sebuah bank agar terhindar dari risiko likuiditas sangat penting, karena likuiditas dapat mempengaruhi tingkat profitabilitas bank yang bersangkutan.
Guna mencapai profitabilitas yang tinggi maka bank akan berusaha menggunakannya ke aset yang menghasilkan bunga yang tinggi, aset jangka panjang dan dengan harapan bahwa operasi harian akan tertutup dengan dana baru. Namun tindakan seperti ini sangat berisiko karena apabila dana yang telanjur digunakan tidak dapat ditarik, sedangkan dana baru yang diharapkan tidak tersedia, bagaimana suatu bank dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya dan memenuhi penarikan dana oleh deposan, pada akhirnya akan menimbulkan masalah likuiditas (Rusyamsi, 1999:38).
Dengan demikian perlu diketahui bagaimana pengelolaan likuiditas yang baik pada suatu bank agar terhindar dari kemungkinan terjadinya risiko likuiditas, dengan memperhatikan rasio-rasio keuangan yang berpengaruh terhadap keadaan likuiditas suatu bank. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh LDR ,NPL dan CAR Terhadap Risiko Likuiditas Pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Se- Indonesia Tahun 2007-2011”.
 Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini


Wednesday, February 6, 2013

Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Keputusan Pembelian Konsumen Pada Produk Asuransi (Studi kasus produk Prudential Assurance Account Unit Link pada PT. Prudential Life Assurance area Makassar) (ket.: Y = Variabel Dependen, yaitu keputusan pembelian konsumen, X1 = produk (product), X2 = harga (price), X3 = promosi (promotion), X4 = sumber daya manusia/orang (people), X5 =, proses (process) (94)

Kebutuhan manusia akan rasa aman baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang tidak akan ada habisnya. Rasa khawatir akan keselamatan hidup, kesehatan, pendidikan anak dan masa depan keluarga membuat manusia membutuhkan jaminan akan hal tersebut. Hal ini tidak lain karena rasa aman dan jaminan akan keberlangsungan suatu kehidupan adalah hal mutlak yang selalu diinginkan manusia. Maka manusia sebagai seorang konsumen membutuhkan suatu produk yang dapat memberikan rasa aman dan menjamin keberlangsungan hidupnya, keluarganya maupun usahanya. Oleh sebab itu para pelaku bisnis mulai berinovasi membuat produk – produk yang dapat memberikan rasa aman dan jaminan terhadap konsumen. 
Produk – produk yang berfungi untuk memberikan rasa aman dan jaminan terhadap masyarakat selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan pengetahuan, perkembangan dunia usaha dan bisnis. Produk tersebut kita kenal dengan nama asuransi. Asuransi merupakan sarana finansial dalam tata kehidupan rumah tangga, baik dalam menghadapi resiko yang mendasar seperti resiko kematian atau dalam menghadapi resiko atas harta benda yang dimiliki. Demikian pula dunia usaha dalam menjalankan kegiatannya menghadapi berbagai resiko yang mungkin dapat mengganggu kesinambungan usahanya. Dan kita tahu bahwa semakin maju suatu Negara maka kesadaran masyarakat akan kebutuhan berasuransi semakin tinggi. Indonesia sebagai Negara sedang berkembang tentu mendapatkan dampak dari semakin sadarnya masyarakat dalam membeli produk – produk asuransi seperti asuransi pendidikan, asuransi kendaraan bermotor, asuransi kesehatan, dan lain – lain. Kondisi ini menarik minat perusahaan-perusahaan asuransi untuk masuk di pasar Indonesia, baik itu perusahaan asing maupun lokal. Ada berbagai macam bentuk jaminan yang ditawarkan oleh produk-produk asuransi tersebut untuk bersaing mendapatkan konsumen.

Makin “menggiurkannya” keuntungan (revenue) dari bisnis asuransi dan makin terbukanya peluang besar membuat persaingan di pasar asuransi makin sengit. Terdapat lima perusahaan yang menjadi pemain utama dalam pasar asuransi di Indonesia, yaitu Prudential Life Assurance, AIA Financial, Bumiputera 1912, Manulife Indonesia, Allianz Life. Situasi persaingan tersebut makin diperhangat oleh front-front persaingan antar para perusahaan asuransi. Sedikitnya terdapat tiga aspek front persaingan antara perusahaan asuransi tersebut, antara lain: 1). Aspek kekuatan keuangan (asset) perusahaan, 2). Aspek jasa (service) produk, 3). Aspek kelancaran klaim. Untuk menghadapi persaingan usaha tersebut maka perusahaan asuransi harus senantiasa proaktif dalam menyusun strategi pemasaran dan meningkatkan kualitas layanannya. Disamping itu, agar dapat bersaing dan dapat memiliki layanan yang bermutu, perusahaan asuransi harus memiliki strategi-strategi khusus untuk memenangkan persaingan pasar.
Tidak dapat dipungkiri lagi pemasaran merupakan salah satu ujung tombak bagi suatu perusahaan dan yang biasa menjadi tolok ukurnya adalah keberhasilan usaha. Dalam proses pemasaran, konsumen merupakan objek yang dijadikan sasaran pasar, maka perusahaan harus dapat memahami konsumen. Banyak hal yang dapat dilakukan dalam memahami kondisi pasar, salah satunya dengan melakukan riset pasar, sehingga perusahaan dapat menilai, mengukur kemampuan dan menginterpretasikan keinginan dan perilaku konsumen. Begitu pentingnya posisi konsumen, produsen bahkan dengan berani menganalogikan bahwa konsumen adalah “raja”. Hal itu tidak berlebihan sebab tidak dapat dipungkiri lagi bahwa konsumen adalah salah satu elemen penting dalam sistem perekonomian modern. Sebaik apapun kualitas produk yang dihasilkan produsen, sehebat apapun kualitas layanan yang diberikan produsen, barang dan jasa tersebut tidak akan dibeli oleh konsumen jika konsumen tidak membutuhkannya atau “merasa” membutuhkannya. Konsumen sebagai raja memiliki makna bahwa para produsen harus memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan konsumen. Selanjutnya produsen hendaknya membuat barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan konsumen tersebut.
Persaingan antar produsen (perusahaan asuransi) semakin tajam, produsen semakin kompetitif untuk menarik konsumen dalam usaha mempertahankan keberadaannya agar tetap hidup dan berkembang. Produsen harus meningkatkan kepekaannya terhadap perubahan lingkungan yang dapat memengaruhi perilaku konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian. Produsen perlu mengubah paradigma pemasarannya, yaitu dari paradigma lama ke paradigma baru. Paradigma baru memandang produk dari kacamata konsumen. Fokus paradigma baru ini adalah bukan pada bagaimana membuat produk tetapi bagaimana sebaiknya memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Paradigma baru melibatkan konsumen dalam organisasi, hal tersebut dimaksudkan agar tumbuh komunikasi yang berguna untuk menjalin hubungan antara konsumen dengan produsen. Bahkan The Marketing Guru’s Indonesia, Hermawan Kertajaya memformulasikan rumus marketingdengan nama New Wave Marketing, dimana konsumen memiliki derajat yang sama dengan produsen (horizontal marketing).
Perilaku konsumen adalah kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan menggunakan barang dan jasa termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan pada persiapan dan penentuan kegiatan-kegiatan tersebut. Menurut Kotler (2008), tahap-tahap yang dilewati pembeli untuk mencapai keputusan membeli melewati lima tahap, yaitu: pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan membeli, tingkah laku pasca pembelian. Produsen dalam mencapai sasaran memerlukan suatu strategi tersendiri dan terdapat beberapa faktor yang turut memengaruhi. Faktor-faktor tersebut yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berada diluar jangkauan perusahaan, contoh:  teknologi, keadaaan ekonomi, peraturan pemerintah, dan lingkungan sosial budaya. Faktor internal yaitu bauran pemasaran (marketing mix), yang terdiri dari produk (product), harga (price), promosi (promotion), tempat/saluran distribusi (place/distribution channel) dan untuk produk berupa jasa keempat variabel bauran pemasaran (marketing mix) tersebut ditambahkan dengan variabel orang (people), bukti fisik yang mewakili (physical evidence and presentation), dan proses jasa itu sendiri (process).
Membicarakan mengenai persaingan usaha, penetapan strategi pemasaran dan pengenalan perilaku (khususnya perilaku pembelian konsumen) oleh produsen menuntut adanya benang merah dan alat (tools) yang tepat, memilki batasan, dan bersifat terukur. Salah satu alat yang dapat dijadikan perspektif oleh produsen dalam memetakan strategi pemasaran dan mengenali perilaku pembelian konsumennya ialah melalui bauran pemasaran jasa, sebab bauran pemasaran jasa adalah salah satu variabel dalam ilmu pemasaran yang dapat dikontrol oleh produsen dan lebih terukur (Kottler, 2000). Selain itu, bauran pemasaran jasa juga mampu memberikan gambaran mengenai kombinasi dari berbagai variabel pemasaran untuk menghasilkan tanggapan yang diinginkan dalam penjualan, sehingga akan dicapai volume penjualan dengan biaya yang memungkinkannya mencapai tingkat laba yang diinginkan.
Menurut Kottler (2008) terdapat tujuh bauran pemasaran jasa, yaitu produk (product), harga (price), promosi (promotion), tempat/saluran distribusi (place/distribution channel), orang (people), bukti fisik yang mewakili (physical evidence and presentation), dan proses jasa itu sendiri (process). Dalam menetukan strategi bauran pemasaran jasa, perlu dipahami pula bahwa produk yang ditanggapi atau direspon dengan baik (positif) oleh konsumen akan memiliki peluang yang besar bagi produk tersebut untuk dibeli. Dapat diasumsikan bahwa penilaian atau tanggapan konsumen terhadap bauran pemasaran jasa akan memengaruhi keputusan pembelian konsumen. Oleh karena itu perusahaan perlu mengetahui tanggapan konsumen terhadap bauran pemasaran jasa yang dilakukannya. Perusahaan yang memahami betul bagaimana tanggapan konsumen terhadap unsur-unsur bauran pemasaran produknya akan mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding pesaingnya.
Dengan demikian, untuk mencapai tujuannya yaitu mendapatkan tempat/posisi yang baik dalam pasar dan untuk mensinergiskan elemen penetrasi, akuisisi, dan retensi maka perusahaan asuransi harus memahami betul faktor-faktor yang dapat memengaruhi keputusan pembelian konsumennya, dimana faktor yang sangat penting untuk diperhatikan adalah faktor bauran pemasaran jasa.
Seperti yang dilakukan oleh PT. Prudential Life Assurance (Prudential Indonesia) yang menganggap kebutuhan konsumen itu penting, dan memenuhi kebutuhan konsumen dengan pendekatan bauran pemasaran jasa dapat meningkatkan pemasaran produknya. Hal ini dapat terlihat dari prestasinya sebagai perusahaan asuransi yang memperoleh laba terbesar sesuai laporan keuangan dalam 3 tahun terakhir (2009, Rp. 1,659 trilyun; 2010, Rp. 2,341 trilyun; 2011, 2,6 trilyun). PT. Prudential Life Assurance juga merupakan perusahaan asuransi dengan asset terbesar di Indonesia yang mencapai Rp. 25 trilyun.
Berdasarkan dari uraian di atas penulis terdorong untuk menulis penelitian di bidang pemasaran yang memusatkan penelitian pada perilaku pembelian konsumen pada produk Prudential Assurance Account Unit Link (yang biasa disebut PAA Unit Link) ditinjau dari aspek bauran pemasaran jasa pada PT. Prudential Life Assurance area Makassar dan mengangkat judul “Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Pembelian Konsumen Pada Produk Asuransi (Studi Kasus Produk Prudential Assurance Account Unit Link pada PT. Prudential Life Assurance area Makassar)”.

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini

Analisis Pengaruh Brand Image Terhadap Keputusan Nasabah Dalam Memilih Produk Tabungan Masa Depan Di PT. Bank Sulselbar Cabang Utama Makassar (93)

Persaingan bisnis dalam jaman kecepatan, sehingga menuntut perusahaan harus dapat bersikap dan bertindak, hal ini disebabkan karena lingkungan bisnis bergerak sangat dinamis, serta mempunyai ketidakpastian paling besar. Oleh karena itu, dalam abad millennium seperti sekarang ini perusahaan dituntut bersaing secara kompetitif dalam hal menciptakan dan mempertahankan konsumen yang loyal, dan salah satunya adalah melalui perang antar merek. Memasuki millennium baru di era globalisasi ini produsen dihadapkan pada persaingan untuk meraih dominasi merek.
Salah satu kegiatan usaha yang paling dominan dan sangat dibutuhkan keberadaannya didunia ekonomi dewasa ini adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan. Fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi sangat berperan dalam menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Selain itu peranan perbankan sebagai penunjang dari keputusan bisnis yang merupakan kebutuhan dari masyarakat untuk melakukan suatu aktivitas perekonomian.
 
Iklim usaha yang semakin menantang, seperti dalam dunia industri             perbankan membuat manajemen perbankan dapat menjawab tantangan pasar dan memanfaatkan peluang pasar dalam struktur persaingan di masa kini maupun di masa mendatang. Kemampuan perusahaan dalam menangani masalah pemasaran, mencari dan menemukan peluang-peluang pasar akan mempengaruhi kelangsungan hidup perbankan dalam persaingan. Dalam keadaan ini pihak perbankan ditantang untuk lebih berperan aktif dalam mendistribusikan dan memperkenalkan produknya agar nasabah dapat mempengaruhi keputusan nasabah dalam memilih produk tabungan masa depan.
Salah satu cara yang dilakukan sehingga akan mempengaruhi nasabah dalam memilih produk tabungan masa depan adalah melakukan brand image. Menurut Erna (2008:165) bahwa brand image adalah persepsi tentang merek yang merupakan refleksi memori konsumen akan asosiasinya pada merek tersebut, kemudian dalam penelitian yang dilakukan oleh Intan Indah Lestari dengan judul penelitian pengaruh brand image terhadap keputusan nasabah dalam memilih tabungan pada PT. Bank Central Asia Cabang Probolinggo. Hasil penelitian menunjukkan secara parsial citra pemakai, citra produsen dan citra pembuat berpengaruh dan signifikan terhadap keputusan nasabah dalam memilih produk tabungan.
Kemudian perlu ditambahkan perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Intan dan peneliti adalah terletak dari produk tabungan, dimana penelitian yang dilakukan oleh Indah adalah tabungan tahapan yang sedangkan yang akan dilakukan oleh peneliti adalah tabungan tampan. Alasannya peneliti memilih tabungan masa depan (tampan) adalah karena jenis produk Tampan yang ditawarkan oleh PT. Bank Sulselbar sangat diminati oleh nasabah penabung.
Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, mana penelitian ini ditentukan pada PT. Bank Sulselbar Cabang Utama Makassar. Dalam menunjang aktivitas operasional bank maka salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup suatu perbankan adalah nasabah penabung, alasannya karena dengan adanya kenaikan jumlah nasabah penabung akan berdampak terhadap peningkatan financial tabungan nasabah disetiap bank, hal ini dapat disajikan melalui tabel 1 yaitu sebagai berikut :
Tabel 1.1 Perkembangan Nasabah Tabungan Masa Depan Januari Tahun 2011 s/d Juni 2012


Tahun
Triwulan 1
Triwulan 2
Triwulan 3
Triwulan 4
Jumlah
Jan-Maret
April-Juni
Juli-Sept.
Okt-Des.
2011
70
36
22
19
147
2012
229
398


627
Jumlah nasabah secara keseluruhan
774
Sumber : Data diolah dari PT. Bank Sulselbar Cabang Utama Makassar
Berdasarkan tabel 1 yakni hasil analisis mengenai perkembangan             jumlah nasabah tabungan masa depan pada PT. Bank Sulselbar Cabang             Utama Makassar dalam 2 tahun terakhir yakni dari tahun 2011 dan tahun 2012 adalah sebanyak 774 orang nasabah. Sehingga dengan adanya perkembangan jumlah nasabah tersebut maka penulis perlu melakukan evaluasi mengenai pengaruh brand image atau citra merek yang mempengaruhi perilaku atau keputusan nasabah dalam memilih produk tabungan masa depan yang ditawarkan oleh PT. Bank Sulselbar Cabang Utama Makassar.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat tema ini lebih dalam dengan memilih judul : “Analisis Pengaruh Brand Image Terhadap Keputusan Nasabah Dalam Memilih Produk Tabungan Masa Depan di PT. Bank Sulselbar Cabang Utama Makassar”


Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini

Contoh Tesis Ilmu Pemerintahan

Contoh Tesis Ilmu Pemerintahan.

Untuk membantu rekan-rekan dalam mengerjakan tugas akhir khususnya tesis dengan pokok bahasan antara lain yang mempelajari persoalan-persoalan organisasi, administrasi, manajemen dan kepemimpinan dalam penyelenggaraan organisasi publik atau badan-badan publik yang bertugas melaksanakan kekuasaan negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Obyek dan subyek organisasi ini meliputi lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan lembaga-lembaga lain diatur dalam peraturan perundang-undangan.


Contoh Tesis Ilmu Pemerintahan. Materi ini hanyalah sebagai referensi untuk membuat tugas akhir, sehingga proses penyusunan tesis anda bisa menjadi lebih cepat, hemat waktu, tenaga dan biaya. Jelasnya bisa anda lihat daftar koleksi judul tesis manajemen di bawah ini.

Contoh Tesis Ilmu Pemerintahan. Dengan semakin banyak referensi, contoh penulisan dan materi semakin terbantu anda dalam menyusun tesis anda, sehingga proses penyusunan tesis anda bisa menjadi lebih cepat, hemat waktu, tenaga dan biaya. 


Berikut  Contoh Tesis Ilmu Pemerintahan. dalam bentuk MS WORD, bukan PDF yang bisa digunakan untuk menambah bahan referensi anda.


Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini

Contoh Tesis Manajemen

Contoh Tesis Manajemen. 

Contoh Tesis Manajemen. Untuk membantu rekan-rekan dalam mengerjakan tugas akhir khususnya tesis dengan pokok bahasan manajemen sumber daya manusia, kami menyediakan materi yang bisa anda download gratis,

Contoh Tesis Manajemen. Materi ini hanyalah sebagai referensi untuk membuat tugas akhir, sehingga proses penyusunan tesis anda bisa menjadi lebih cepat, hemat waktu, tenaga dan biaya. Jelasnya bisa anda lihat daftar koleksi judul tesis manajemen di bawah ini. . 

Contoh Tesis Manajemen. Dengan semakin banyak referensi, contoh penulisan dan materi semakin terbantu anda dalam menyusun tesis anda, sehingga proses penyusunan tesis anda bisa menjadi lebih cepat, hemat waktu, tenaga dan biaya. 


Berikut  Contoh Tesis Manajemen dalam bentuk MS WORD, bukan PDF yang bisa digunakan untuk menambah bahan referensi anda.


Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini

Contoh Tesis Manajemen Keuangan

Contoh Tesis Manajemen Keuangan.

Contoh Tesis Manajemen Keuangan. merupakan kumpulan tesis yang membahasa tentang keseluruhan aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan usaha mendapatkan dana yang diperlukan dengan biaya yang minimal dan syarat-syarat yang paling menguntungkan beserta usaha untuk menggunakan dana tersebut seefisien mungkin. 

Contoh Tesis Manajemen Keuangan.. Dengan semakin banyak referensi, contoh penulisan dan materi semakin terbantu anda dalam menyusun tesis anda, sehingga proses penyusunan tesis anda bisa menjadi lebih cepat, hemat waktu, tenaga dan biaya. 


Berikut  Contoh Tesis Manajemen Keuangan. dalam bentuk MS WORD, bukan PDF yang bisa digunakan untuk menambah bahan referensi anda.


Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini