BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Karyawan adalah manusia yang mempunyai sifat kemanusiaan, perasaan dan kebutuhan yang beraneka ragam. Kebutuhan ini bersifat fisik maupun non fisik yang harus dipenuhi agar dapat hidup secara layak dan manusiawi. Hal ini menyebabkan timbulnya suatu pendekatan yang berdasarkan pada kesejahteraan karyawan dalam manajemen personalia. Karyawan harus mendapatkan perlakuan sedemikian rupa sehingga kerjasama antara pimpinan dan karyawan sebagai bawahan dapat terjalin dengan baik. Bila hubungan terjalin baik maka mudah untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditentukan.
Untuk menjalin kerjasama yang baik antara pimpinan dan karyawan, antara kedua pihak harus saling mengerti tentang kepentingan masing-masing dalam perusahaan. Untuk itu diperlukan komunikasi yang baik antara pimpinan dan karyawan mengingat peranan komunikasi sangat besar untuk keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah digariskan.
Sebagai manusia, karyawan juga mempunyai tujuan <.span>sehingga diperlukan suatu integrasi antara tujuan perusahaan dengan tujuan karyawan. Untuk mengusahakan integrasi antara tujuan perusahaan dan tujuan karyawan, perlu diketahui apa yang menjadi kebutuhan masing-masing pihak. Kebutuhan karyawan diusahakan dapat terpenuhi melalui pekerjaannya. Apabila seorang karyawan sudah terpenuhi segala kebutuhannya maka dia akan mencapai kepuasan kerja dan memiliki komitmen terhadap perusahaan. Tingginya komitmen karyawan dapat mempengaruhi usaha suatu perusahaan secara positif. Adanya komitmen akan membuat karyawan mendukungsemua kegiatan perusahaan secara aktif, ini berarti karyawan akan bekerja lebih produktif. Penelitian menyatakan bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasional cenderung mempengaruhi satu sama lain. Karyawan yang relatif puas dengan pekerjaannya akan lebih berkomitmen pada organisasi dan karyawan yang berkomitmen terhadap organisasi lebih mungkin mendapat kepuasan yang lebih besar (Mathis dan Jackson,2001: 100).
Komitmen karyawan ini diperlukan oleh perusahaan dan merupakan faktor penting bagi perusahaan dalam rangka mempertahankan kinerja perusahaan. Apalagi dalam era persaingan bisnis yang makin ketat di sektor telekomunikasi dan teknologi informasi seperti dewasa ini.
Agar kerjasama yang baik antara karyawan dan perusahaan tercapai, maka perusahaan harus menetapkan manajemen imbalan (reward management) yang adil bagi kedua belah pihak. Manajemen imbalan merupakan proses pengembangan dan implementasi strategi, kebijakan dan sistem yang membantu organisasi mencapai tujuannya dengan mendapatkan danmempertahankan orang-orang yang diperlukan dan dengan meningkatkan motivasi dan komitmennya (Armstrong, 1992:495). Armstrong juga menyarankan bahwa manajemen imbalan seharusnya juga mempertimbangkan budaya organisasi yang sesuai berikut nilai inti yang mendasarinya.
Proses manajemen imbalan mencakup baik imbalan finansial maupun nonfinansial. Oleh karena itu pemahaman konsep kontrak psikologis sama pentingnya dengan pemahaman unsur-unsur ekonomi dan aspek transaksional. Konsep kontrak psikologis terutama penting untuk memahami dan memanajemeni motivasi. Dari sudut pandang karyawan, aspek hubungan kerja yang dicakup oleh kontrak psikologis adalah: a) bagaimana perlakuan yang diterima dalam hal keadilan, persamaan dan konsistensi, b) keamanan kerja, c) lingkup untuk menunjukkan kompetensinya, d) harapan karier dan peluang untuk mengembangkan keterampilan, e) keterlibatan dan pengaruh, f) keyakinan pada organisasi untuk memenuhi janjinya dan g) keyakinan bahwa dirinya akan dimanajemeni secara kompeten. Sedangkan dari sudut pandang pemberi kerja atau perusahaan, kontrak psikologis mencakup aspek hubungan kerja seperti a) kompetensi, b) upaya, c) kemampuan menyesuaikan, d) komitmen dan e) loyalitas (Armstrong dan Murlis, 2003a: 39).
Proses manajemen imbalan sangat ditentukan oleh tuntutan bisnis. Oleh karena itu, falsafah yang mendasari kebutuhan bisnis tersebut juga harus dipahami. Karena karyawan juga termasuk stakeholder (pihak yang berkepentingan) dalam organisasi, maka kebutuhan- kebutuhan mereka juga harus dipahami agar kepuasan kerja tercapai dan selanjutnya dapat menumbuhkan komitmen pada organisasi. Kepuasan kerja tercapai jika kebutuhan karyawan terpenuhi melalui pekerjaanya. Suatu model yang dikemukakan oleh Smith, Kendall dan Hulin (Long, 1998: 108) menyebutkan bahwa ada lima segi yang menciptakan kepuasan kerja, yaitu kepuasan dengan gaji/imbalan, promosi, supervisor/atasan, rekan kerja dan pekerjaan itu sendiri.
Berdasarkan beberapa penelitian, faktor penting yang mendorong seorang karyawan memiliki komitmen terhadap perusahaan adalah kompensasi atau balas jasa. Kompensasi ini bisa berupa finansial maupun nonfinansial. Kompensasi dalam bentuk finansial berupa gaji/upah, tunjangan, bonus dan juga kepemilikan saham perusahaan bagi karyawan (ESOP— Employee Stock Ownership Plan). Sedangkan kompensasi non finansial meliputi kesehatan dan keamanan karyawan.
Untuk menumbuhkan identifikasi karyawan pada tujuan-tujuan perusahaan (yang merupakan salah satu indikator komitmen organisasi), imbalan yang dapat mendorong kinerja perusahaan seperti pembagian keuntungan (profit sharing) dan program kepemilikan saham perusahaan bagi karyawan itu akan relevan (Long, 1998: 110). Berdasarkan pada pernyataan di atas maka dalam penulisan ini akan meneliti tentang pengaruh kepemilikan saham perusahaan bagi karyawan (ESOP) terhadap komitmen organisasi di PT Telkom Tbk Kantor Divre V Bidang Performansi dan Sumber Daya Manusia (SDM). PT Telkom Tbk merupakan satu dari sedikit perusahaan di Indonesia yang menerapkan ESOP. Dalam pelaksanaan ESOP, di PT Telkom Tbk dikenal empat jenis saham, yaitu saham perdana, saham insentif, saham bebas dan saham bonus.
Riset mengemukakan bahwa program kepemilikan saham karyawan mendorong karyawan untuk mengembangkan rasa kepemilikan dan komitmen terhadap perusahaan. Karyawan berbuat demikian sebagian karena mereka memberi peluang untuk meningkatkan insentif keuangan, menciptakan rasa kepemilikan baru dan membantu membangun kerja tim (Dessler, 1998:155). Di Amerika Serikat, karyawan yang mengikuti ESOP meningkat dari 4 juta orang pada 1980 menjadi lebih dari 10 juta pada 1999. Di Jepang, 91 persen perusahaan yang terdaftar di bursa efek Jepang menerapkan ESOP bagi karyawannya. Perusahaan- perusahaan ini memiliki rata-rata produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak menerapkan ESOP (Noe et all, 2003:508).
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Untuk mendapatkan Koleksi Contoh Tesis Manajemen Lain bisa anda klik DISINI
Untuk mendapatkan Koleksi Contoh Tesis Manajemen Lain bisa anda klik DISINI
No comments:
Post a Comment